Senin, 18 April 2011

Belum Ada Judul - Part 3

                                                               III

    Tepatnya tiga tahun lalu. Saat Vanka masih duduk di kelas 6 SD. Hari-hari yang sibuk untuk mempersiapkan ujian kelulusannya. Hamper setiap hari diisinya dengan pelajaran tambahan. Sampai suatu ketika, Vanka ditugasi gurunya untuk mengantarkan sebuah surat untuk guru di SMP. Yang sekarang diketahuinya bernama Bu Andar.
    Hari Sabtu itu, sepulang sekolah Vanka mengantarkannya ke ruang guru SMP. Tetapi guru yang dituju itu belum selesai mengajar. Terbesit di pikirannya untuk menitipkan saja suratnya pada guru yang ada disana. Tetapi mengingat perkataan gurunya, dia mengurungkan niatnya.
    “Pokoknya pastikan surat itu dibaca ya! Jangan kamu titip ke temenmu!”
Dan Vanka tidak ingin mengecewakan gurunya.
    Setelah bertanya-tanya pada guru yang ada, Vanka menemukan guru yang dimaksud. Di kelas IX F. Ragu-ragu Vanka mengetuk pintunya.
    “Iya. Cari siapa?” sapa lembut guru itu seraya melebarkan pintu.
    “Selamat siang,Bu. Maaf, ini ada titipan surat dari Pak Gery untuk ibu.”
    “Oh iya… iya… Terimakasih ya! Kamu kelas berapa?”
    “Saya kelas 6.”
    “Oh. Ok! Terimakasih ya!”
    “Iya bu! Sama-sama. Selamat siang.”
Setelah mengucapkan salam, Vanka pergi meninggalkan tempat itu. Tapi dari ekor matanya, dia melihat seorang laki-laki yang kursinya berada di dekat pintu. Yang sedari tadi telah menatapnya. Tiba-tiba dia menjadi malu. Entah ada apa di dalam mata laki-laki tersebut, yang membuat Vanka langsung kagum ketika melihatnya.

    Tapi buru-buru ditandaskannya pikirannya. Siapapun dia, dia tidak boleh menganggu pikiranku tiga bulan ini! Nilai ujianku harus lebih baik dari semuanya!
    Tetapi sekuat apapun Vanka melupakannya, bayangan wajah itu lebih kuat lagi. Dan praktis, pelajarannnya kacau. Apalagi kalau sedang belajar di rumah seperti saat ini. Dia mengunci pintu rapat-rapat. Duduk di meja belajar di samping tempat tidurnya. Dan membuka buku IPA, yang tebalnya sudah seperti ensiklopedia. Entah darimana Vanka mendapatkan buku itu.
    Satu per satu halaman dibukanya. Membaca baris demi baris tulisan yang tertera di halamannya. Sambil memegang sebuah pensil di tangan kanannya, dan berusaha menyelami teori-teori tersebut. Tidak jarang Vanka menuliskan beberapa sebutan-sebutan asing yang tidak dia mengerti di sebuah catatan kecilnya. Yang akan dibawanya ke perpustakaan besok. Atau dibawa ke hadapan Bu Reta saat pelajarannya selesai.
    Setelah mendapati halaman ke dua puluh catatan kecilnya telah penuh, Vanka berhenti menulis. Jam kecil di mejanya telah menunjukan waktu makan sorenya. Pantas saja dia sudah lapar. Tetapi setelah memalingkan wajahnya ke jendela, tiba-tiba Vanka teringat sebuah wajah.
Tatapannya begitu ramah, air mukanya begitu tenang, dan postur tubuhnya yang terlihat tegap meskipun ia duduk. Ah, jadi malu bila membayangkannya.
    Tiba-tiba pintu diketuk, Vanka langsung kembali dari dunia khayalannya. Ternyata Mbak Ijah yang datang. Memberitahukan bahwa ibunya sudah pulang.
    “Bener,Mbak?” sergahnya terkejut.
    “Iya lah… Masa mbak bohong. Mama lagi di ruang makan tuh.”
    “Oke deh,Mbak!”
Tanpa basa-basi lagi, Vanka langsung memburu ruang makannya, yang hanya berbatasan dengan lemari buku besar dengan ruang tamu.
    “Mama!!” teriaknya gembira. Langsung dipeluk bahu ibunya yang sedang duduk di meja makan.
Terkejut dan senang mama membalas rangkulan Vanka tanpa mempedulikan air es yang tumpah membasahi blazernya hitamnya.
    “Aduh anak mama! Anka manja amat sih. Gimana sekolahmu? Kapan ujiannya?” begitulah Vanka dipanggil di rumah.
    “Iya dong! Kan anak mama! Kok baru dateng udah nanya sekolah sih?”
    “Abis mau tanya apa dong? Emmm, Anka lagi ngapain? Gitu?” goda ibunya.
    “Yah… boleh lah. Anka baru aja selesai belajar. Kan udah tinggal tiga bulan lagi ujiannya. Minggu depan aja udah ujian praktek. Anka capek tau,Ma…” keluhnya sambil menarik kursi makan tanpa melepaskan genggaman tangannya.
    “Iya. Mama tau. Tapi kan kalau Anka belajar yang rajin, siapa tau nanti Anka bisa jadi juara. Kan kamu mau ngalahin si Dea itu kan?”
    “Iya sih,Ma. Tapi aku bingung tau. Kenapa Dea bisa pinter banget kayak gitu. Padahal cara belajarnya sama kayak Anka.”
    “Emang kamu tau darimana belajarnya kayak kamu?”
    “Temen-temen pada cerita-cerita ke aku.”
    “Daya berpikir manusia kan lain-lain. Kalau kamu mampu ngafalin satu buku, dia mungkin bisa dua buku. Tapi gak ada yang bisa ngejamin kalau dia selamanya bisa tahan di rengking 1. Tapi kamu juga gak boleh curang ya! Kamu harus ikhlas kalau dia dapat nilai berapapun. Harus bersaing sehat! Ok?”
    “Oke deh,Ma! Tapi mama mau bantuin Anka kan,Ma? Matematikanya ribet banget. Pelajaran kelas 4 semua. Kan Anka udah lupa.”
    “Minta tolong Mas Rio lah…”
    “Anka aja lupa, apalagi Mas Rio! Inget 7 x 4 aja udah bagus.”
    “Hus!! Ngaco aja! Masih inget tau!” sekonyong-konyong Rio datang.
Vanka yang tidak menyadari bahwa Mas Rio telah datang, tidak dapat meralat kata-katanya. Dan sebuah jitakan pedas telah mampir di kepalanya.
    “Aduh! Mama!! Mas Rio nih!” teriak Vanka separuh merengek kepada ibunya yang tadi menonton adegan tersebut.
    “Dih! Ngadu! Biasanya nendangin kaki aja… Mentang-mentang ada mama nih.” Gerutu Rio.
Dan ibunya tersenyum bijak sambil mengusap-usap kepala Vanka.
    “Rio! Kamu tuh udah gede ah! Masa masih begitu bercandanya. Kalau mau, cubit aja.” Tegur mamanya sambil berkelakar.
Dan Rio tertawa terbahak-bahak.
    “Yah mama. Kok dicubit sih. Ntar Mas Rio nyubitnya beneran…” gerutu Vanka dengan uara manjanya.
    “Ya elah! Kapan Mas nyubit beneran. Ada juuga kamu tuh! Nih,ma!”, sela Rio sambil menunjukan tulang keringnya yang membekas memar. “Anka nendang kakiku ampe biru gini!”
    “Huuuu…. Laporan! Sekarang siapa yang tukang ngadu!” teriak Vanka.
    “Halah!! Sudah-sudah! Baru mama pulang, udah dapet laporan lagi. Tuh, kamu liat gak tas mama. Isinya laporan semua tuh.” Lerai Ibu sambil tertawa. “Emang gak malu apa? Tuh, mbak Ijah udah ketawa-ketawa.”
    “Emang gitu,Bu. Tiap hari juga.” Sela Mbak Ijah.
    “Yee… Mbak Ijah juga laporan!” tawa Vanka.
    “Tuh,Mbak! Laporan mama di tas udah banyak!” sambung Rio cekikikan.
****************
    Vanka menjalani hari-harinya seperti biasa, walaupun tidak ada hari yang terlewatkan tanpa memikirkan lelaki yang belum dikenalnya itu. Hingga dua minggu sebelum ujian, lelaki yang sudah lama tidak ditemuinya lagi itu muncul di depannya.
    Saat itu adalah upacara peringatan Hari Pendidikan yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Upacara tersebut digelar besar yang pesertanya meliputi semua unit sekolah St.Venecia. dari SD, SMP, hingga SMA. Lapangan umum sekolah yang besar itu terpadati oleh kurang lebih seribu lima ratus orang. Maklum saja, sekolah St.Venecia adalah sekolah yang berkurikulum baik tetapi ringan di saku orangtua yang rata-rata pengusaha kecil hingga menengah.
    Lapangan yang penuh sesak tidak menurunkan semangat nasionalisme mereka semua. Vanka yang berbadan tinggi selalu mendapat baris paling akhir. Sehingga dia selalu kesal bila tidak dapat menyaksikan jalannya upacara, karena terhalang kepala temannya.
    Tapi dia tidak menyesali lebih jauh lagi. Karena kerika dia memalingkan wajahnya ke sebelah kanan, dia melihat barisan para paskibrata yang berbeda beberapa baris dari tempatnya berdiri. Mereka  tetap berdiri tegap meskipun panas matahari menyaksikan tetes demi tetes peluh mereka. Kemeja putih berlengan panjang menambah wibawanya. Sehelai kain merah di leher senada dengan topi hitam dengan lambang garuda di depannya. 
    Di tengah-tengah barisan itu, Vanka menatapi suatu sosok tubuh. Keramaian dan keseragaman para paskibrata tidak dapat menutupi tubuh tegapnya. Ternyata badannya lebih tegap bila berdiri seperti ini. Dan lagi pakaian yang dikenakannya dengan celana panjang putih tak bernoda menambah daya tariknya.
    Dan Vanka menahan nafasnya tatkala lelaki yang ditatapnya sedari tadi memalingkan pandangannya ke wajah Vanka dan menatap matanya. Kaget dan gugup, Vanka langsung mengembalikan pandangannya ke podium. Meskipun tidak ada yang dapat dilihatnya kecuali topi merah.
    Dengan ekor matanya dia masih dapat melihat lelaki yang masih memandangnya. Tiba-tiba mukanya menjadi panas, dan pipinya merona merah. Dan badannya tidak dapat bergerak, seolah-olah seluruh persendiannya macet. Padahal saat itu, saatnya mereka memberikan hormat pada sang saka merah putih. Dan senggolan siku di pinggangnya meyentakkanya. Yosua sedang menatapnya separuh kesal, karena panggilannya sedari tadi tidak digubris Vanka sama sekali.
    “Woy! Hormat! Hormat!” bisik Yosua sambil menyentak-nyentakan tangannya yang sudah membentuk posisi tersebut.
    “Oh! Iya-iya!!” jawab Vanka serba salah.
Sambil mengumandangkan lagu Indonesia Raya, Vanka masih melirik lelaki tersebut. Yang masih tertawa tertahan melihat tingkah Vanka tadi.
Karena merasa diperhatikan demikian, Vanka semakin salah tingkah. Lirik lagu yang dinyanyikannya amburadul! Untung saja dia tidak menyanyi dengan keras, maka hanya dua-tiga orang saja yang mendengarnya.
    Upacara yang panjang itu menjadi sangat singkat, dengan tidak dapat lepasnya pandangan Vanka dari lelaki itu. Meskipun hanya dapat mencuri-curi lihat saja, Vanka merasa puas. Tetapi kepuasan tersebut tidak bertahan lama. Saat petugas doa membacakan doanya, hati Vanka mulai resah. Artinya, upacara sebentar lagi akan selesai. Dan dia tidak tahu lagi kapan dia kan menemui lelaki itu lagi.
    Dan saat melihat petugas paskibrata melangkah tegap dengan susunan formasinya, sekali lagi Vanka menyaksikan dengan napas tertahan. Semuanya terlihat gagah! Tidak peduli perempuan atau laki-laki. Semuanya mampu menggetarkan hati Vanka yang berdecak kagum melihatnya. Iring-iringannya paskibrata melewati belakang barisan Vanka lebih dekat. Semakin dekat, semakin berdebar pula jantungnya. Dan saat sesosok yang dikaguminya melintas di belakangnya, Vanka tidak dapat menolak keinginan hatinya untuk menoleh. Ditatapnya dalam-dalam wajah yang penuh peluh itu. Tatapan wajahnya yang tetap melihat ke depan, meskipun setiap siswa yang dilewati mendesah kagum akan kegagahannya. Menambah kekaguman Vanka. Andaikan saja dia menoleh dan sedikit melempar senyum, mungkin dia tidak akan terlihat sekeren ini.
    Kesenangannya hilang seketika, saat barisan paskibrata menghilang dari pandangannya. Udara tiba-tiba panas, dan suasana mendadak gersang. Vanka tidak dapat tersenyum seperti tadi. Sebesar itukah pengaruh kehadirannya bagi Vanka?
    ***********

    Sepulang sekolah, Vanka hanya uring-uringan di rumah. Semangatnya menurun drastis. Lauk makan malam Mbak Ijah tidak ada rasanya, meskipun mama sedang menemaninya makan. Semua ditelannya begitu saja, walaupun dia tidak berselera lagi.
Selesai makan, Vanka kembali lagi ke kamarnya. Menyelesaikan gamenya yang tinggal sedikit lagi. Tapi setelah membuka laptopnya beberapa menit, kembali ditutupnya lagi.
Malas-malas Vanka beranjak ke ruang tengah, menyalakan televisi. Meskipun tidak ada satu katapun yang masuk ke otaknya.
    Ketukan pintu rumahnya memaksa Vanka untuk bangun dari kursi malasnya. Dibukanya pintu dengan tenang. Dan tanpa melihat tamunya lagi, Vanka menyilakannya masuk.
Vanka sudah hafal benar, siapa yang akan datang pukul delapan malam seperti ini. Siapa lagi kalau bukan Mas Angga atau Mas Rendy. Dan yang datang saat ini Mas Angga tanpa ditemani Mas Rendy.
    Melihat tingkah Vanka yang tidak seperti biasanya, mau tidak mau Angga bertanya,
    “Napa lu? Tumben-tumbenan gue dateng didiemin.” Tanyanya penasaran
    “Gak papa…” jawab Vanka sambil meletakan kembali panggulnya ke sofa.
Mendengar suara Angga, Rio yang berada di ruang makan bergegas menjumpainya dan menimpali jawaban Vanka,
    “Uring-uringan tuh seharian! Tau ketemu apaan tadi di sekolah!” kata Rio sambil tertawa.
    “Ihh! Sok tau nih Mas Rio!” jawab Vanka kesal.
    “Tuh kan langsung marah! Awas, cepet tua loh!”
    “Ahh,berisik nih!” sergah Vanka sambil melempar bantal duduk yang dipegangnya ke Mas Rio.
Angga hanya bisa tertawa dan duduk di dekat Vanka.
    “Kenapa sih? Tumbenan banget gitu aja marah.” Tanyanya lembut pada Vanka.
    “Gak papa! Mas Rio nya aja tuh yang nyebelin…” jawab Vanka masih segusar tadi.
    “Udah lu berdua ngobrol dulu deh. Gue mau lanjutin makan gue!” potong Mas Rio sembari masuk kembali.
Hanya suara televisi dan jangkrik yang mengisi ruangan itu. Hening. Sampai akhirnya Angga mencoba menggali sesuatu.
    “Gue gak percaya kalo lo bilang gak apa-apa.”
    “Emang gak papa kok!”
    “Boong. Ya udah gak papa kalo gak mau cerita ama gue.” Jawab Angga acuh tak acuh.
    “itu loh mas,” potong Vanka segera sebelum Angga berdiri dari kursinya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Vanka mencurahkan semua perasaannya yang sedari tadi menumpuk. “sebenernya tadi gue ngeliat cowok,mas. Keren, cakep, berwibawa. Lain banget deh sama lu.”
    “Yee… cerita sih cerita. Jangan sekalian nyindir juga kali….” Jawab Angga tersenyum masam.
    “Hehehe… iya.. Sorry deh. Abis kalo inget dia jadinya seneng gitu… Trus kalo seneng kan pengennya ngecengin lu deh…” jawab Vanka sambil tertawa.
    “Ya elah…. Lanjut deh!”
    “Iya…iya… Terus, waktu itu gue pernah ngeliat dia di kelas sembilan. Sejak saat itu deh, dia nyantol banget!”
    “Ohh… suka sama cowok nih ceritanya?”
    “Iyalah! Masa sama cewek! Kira-kira dong,mas!”
    “Ok..Ok. Terus mau lu gimana?”
    “Gak tau deh. Gue sih pengen focus dulu ke ujian nanti.”
    “Iya, bener tuh! Abis ujian, ntar gw kasih tau deh kiat-kiatnya biar dia nyantol ama lu!”
    “Oke deh!”
    Dan Mas Rio yang masuk ke ruang tamu, mengakhiri perbincangan mereka berdua. Mereka sama-sama berjanji tidak akan menceritakan hal tersebut kepada Mas Rio dan siapapun.
Dan benar saja, setelah menceritakan semuanya Vanka menjadi lebih tenang. Dan dia dapat membuka lagi buku pelajarannya malam ini.
Diam-diam dia semakin mengagumi Mas Angga. Perhatian, kepedulian, dan dukungannya selalu membuat Vanka semangat! Belum lengkap semangatnya kalau belum diduking Mas Angga!
Penatnya hilang semua kalau sudah bertemu Mas Angga.
    Tapi Vanka sadar, yang dia rasakan bukan embel-embel cinta.  Tapi sebuah kasih sayang tulus sebagai sahabat, atau kakak-beradik. Maka, Vanka tidak membiarkan perasaannya terbawa arus. Biarlah Mas Angga selamanya menjadi sahabatnya.

Bersambung....................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar