Rabu, 19 September 2012

Dari dan Hingga Kapan

   "Ci.... Jamu ga?"
 
   Suara itu yang selalu kudengar setiap pukul sembilan di hari Minggu pagi. Ketika aku melongok ke pintu depan rumahku, Mbok Yu bertanya dengan lembut: "Jamu gak non?"
Dan aku keluar untuk membukakan pintu pagar bagi dia.
   "Iya, mbok. Masuk dulu. Bentar yah." jawabku sambil mempersilakan dia duduk,di teras rumah yang tidak berkursi. Lekas aku pergi mengambil gelas, sementara mbok melepaskan gendongannya dan duduk beralaskan keramik.

   Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya. Sejak kecil aku sudah memanggilnya Mbok Ayu, pedagang jamu gendong keliling. Entah sejak umur berapa aku mulai mengenalnya. Meminum jamu yang diraciknya. Menikmati hasil alam yang diperindahnya. Tidak setiap minggu, memang.

   Aku menyerahkan cangkirku, "Beras kencur ya, mbok." pesanku.
   "Aduh, ga berasa yah. Dulu buyung upik sekarang beras kencur. Udah pada gede-gede semua yah." katanya setelah menatapku dan kakakku -yang baru keluar- bergantian.

   Tangannya yang sudah keriput mengambil botol demi botol, meracik jamu yang kupesan.
   "Pake asem?" tanyanya dengan lembut dan membuyarkan lamunanku. Aku hanya menganggukdan menatapnya. Dan terus menatapnya.
Ah, mengapa wajahnya tidak berubah? Tanya dalam benakku. Padahal aku sudah beranjak remaja, dan Mbok Yu? Wajahnya seperti tidak menua. Itukah berkat dari Tuhan? Karena ia mengolah ciptaan-Nya sesuai fungsinya.