II
Bel istirahat sekolah berbunyi. Satu hal yang sedari tadi sudah dinanti-nati oleh Vanka, Eka, Yuri, Yosua, dan Wanto. Mereka semua sudah lapar. Apalagi Vanka dan Yuri. Mereka belum sarapan tadi pagi. Pelajaran Bu Heni pun lewat begitu saja di telinga mereka berdua. Mereka sudah memikirkan menu-menu apa saja yang ada di kantin. Makanya, saat bel istirahat berbunyi mereka berdua yang langsung melonjak dari kursinya masing-masing.Sesampainya di kantin yang berada di tingkat paling bawah, Vanka langsung memburu stand soto mie seharga empat ribu rupiah.
Yuri adalah keturunan Jepang. Tapi dia sangat menyukai gudeg. Untung di sekolah menjual nasi gudeg. Jadi Yuri dapat menyantapnya kapan saja, apalagi saat lapar berat begini.
Dan Eka menjatuhkan pilihannya pada bubur ayam, yang hanya berisi bubur dengan kecap asin dan kerupuk. Dan mereka selalu tertawa bila membaca judulnya, ‘Bubur Ayam’.
“Mana ayamnya? Ini mah bubur kecap.” Protes Eka. Tapi mau diapakan lagi. Daripada tidak makan. Dia memang tidak terlalu lapar. Tetapi sejak dia pernah sakit tifus satu tahun lalu, ibunya tidak mengijinkan perutnya kosong. Entah pengertian darimana kalau tifus itu berarti kelaparan?
Yosua dan Wanto lebih berselera dengan siomay di luar sekolah. Meskipun harus berdesak-desakan. Katanya, “Kan kalo beli pake usaha makannya lebih berasa.”
Padahal yang membuat siomay terasa enak itu kan dari bumbu kacang atau dari siomaynya sendiri.